JOMBANG – Dinas Pertanian (Disperta) Jombang menanggapi banyak keluhan petani soal anjloknya harga gabah. Turunnya harga pangan diyakini karena penyerapan kelebihan stok oleh Bulog. Dinas tidak bisa berbuat banyak.
Priadi mengatakan, musim panen untuk musim penghujan (MP) sudah berakhir, tetapi musim panen untuk musim kemarau (MK) masih berlangsung. “Jadi 40% sudah selesai,” kata Priadi kemarin, Minggu (25 Juli).
Priadi tidak memungkiri bahwa sejak saat itu harga gabah dan beras turun. “Masalahnya selama musim pandemi, harga gabah turun, bahkan harga beras di pasaran sekitar Rp 7.000- Rp 7.500 /kg lebih rendah dari HPP,” tambahnya.
Disebutkan Bulog menetapkan beras itu seharga Rp 8.300, tapi harga pasarnya jauh dari itu. “Ini karena over stok,” lanjut Priadi.
Begitu pula dengan harga gabah di bawah HPP. Menurutnya, akibat kelebihan persediaan. Rata-rata panen padi sejak 2020 sudah bagus. “Saat musim hujan kemarin, hanya sedikit padi yang gagal dipanen. Padahal, posisi saat ini lebih tinggi dari cadangan Indonesia,” katanya.
Faktor lain juga menjadi penyebabnya, yakni pandemi Covid-19. “Hasilnya menunjukkan adanya penurunan konsumsi beras. Awalnya 98 kg per orang per tahun. Sekarang menjadi 94 kg per orang per tahun,” kata Priadi.
Meski Disperta tidak bisa berbuat banyak, dia mengatakan target produksi tahun ini adalah 492.213 ton gabah kering sawah (GKS), yang setara dengan 263.580 ton beras. “Hingga musim hujan yaitu bulan April produksi gabah sebanyak 259.167 ton atau setara dengan 160.684 ton beras. Setelah dikurangi kebutuhan beras se-Jombang yang ditempati tahun itu, surplus 31.247 ton,” kata Priadi.
Keluhan petani tentang turunnya harga jual gabah sudah menjadi hal biasa. Setelah yang dialami petani di Desa Plandi, Kecamatan Jombang, petani di Desa Tebel, Kecamatan Bareng juga mengeluh. Hasil Panen tidak optimal karena tanaman padi terkena hama tikus. “Saat ini produksinya sangat rendah, dan petani menerima tidak lebih dari 75% hasilnya,” kata Susilo, salah satu petani setempat.
Dikatakannya, serangan hama tikus di wilayahnya berskala besar. Banyak petani yang gagal panen. Dia melanjutkan, untuk 100 karung sawah atau sekitar 1.400 meter persegi panen, hanya bisa diproduksi sekitar 20 karung beras. “Itu sudah bagus, bahkan ada yang tidak dipanen,” jelasnya.
Tidak hanya hasil yang tidak memuaskan, petani juga khawatir dengan jatuhnya harga gabah. “Banon 100 dulu harganya 3,5 juta rupiah, tapi sekarang hanya 2,5 juta rupiah,” tambahnya seraya menambahkan bahwa keuntungan kali ini diperkirakan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
Ini karena harga tanaman juga naik, dan sulit mencari pupuk bersubsidi karena harus ke sana kemari dengan rentang waktu yang sangat lama. “Jadi ya, sebaiknya kita tidak menggunakan pupuk yang tidak bersubsidi,” katanya.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib para petani dan mengambil tindakan setidaknya setiap tahun untuk membasmi tikus yang meresahkan bagi petani. “Karena sawah setiap tahun diserang hama tikus,” harapnya.
Petani dari Kecamatan Bandarkedungmulyo juga mengajukan keluhan yang sama. Harga gabah kering sawah bahkan sebelumnya seharga Rp 3.600 per kilogram. Sementara harga gabah kering Rp 3.900 masih lebih rendah dari harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu Rp 4.200 per kilogram.
Menurut salah seorang petani, Mastur Hadi, panen kali ini turun tajam, ditambah dengan anjloknya harga, produksi padi juga turun. “Semuanya sekarang sudah dipanen, tapi ya begitu harganya tidak wajar,” keluhnya Sabtu (24/7).
Menurutnya, komitmen pemerintah untuk melindungi petani masih lemah. “Kami berharap dinas ini bisa melindungi petani, sudah pupuk mahal, hama tidak bisa dikendalikan, pas panen harga anjlok, lalu petani dapat apa?” kata Mastur.