JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeluhkan rendahnya sejumlah harga komoditas pangan di tingkat petani.
Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah mengatakan, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Agustus 2021 memang naik, namun belum merepresentasikan situasi yang dihadapi petani.
“Kami melihat tren ini (kenaikan NTP) lebih disebabkan pada satu subsektor yaitu perkebunan rakyat. Ini dapat dilihat sejak awal tahun 2021, di mana NTP perkebunan rakyatnya berada di atas angka 110, dan ini efeknya dirasakan oleh petani perkebunan, kata Agus dalam siaran persnya, Kamis (2/9/2021).
“Sementara di subsektor lainnya ini sangat fluktuatif. Kita lihat NTP tanaman pangan kendati naik di Bulan Agustus ini nyatanya masih di 97,65 atau di bawah standar impas NTP,” sambung dia.
Agus mengatakan, berdasarkan dari laporan para petani yang anggota SPI di Bantul, Yogyakarta, harga-harga hortikultura anjlok, khususnya jenis cabai-cabaian.
Dia menyebutkan, untuk jenis cabai rawit di kisaran Rp 5.000 per kilogram, cabai keriting Rp 2.000 per kilogram dan cabai telopong besar Rp 1.000 per kilogram.
“Saat ini sebagian besar petani di Bantul memilih untuk membiarkan tanaman cabai milik mereka (tidak dipanen),” keluhnya.
Selain itu kata dia, kondisi yang sama juga terjadi dengan petani sayuran secara keseluruhan produk pertanian yang dipanen masih dihargai murah.
Di Bogor kata Agus, hasil panen milik petani yang berlimpah dan bagus belum berbanding lurus dengan permintaan dari konsumen.
Hal ini erat kaitannya dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan dan wilayah yang masih diterapkan seperti persyaratan vaksin untuk lokasi-lokasi perbelanjaan sampai dengan tutupnya usaha kecil/warung makan akibat kebijakan PPKM.
“Kemangi contohnya, harganya Rp 10.000 per 100 ikat, sebelum peraturan pembatasan mobilitas, harga kemangi stabil di atas Rp 20.000 – Rp 25.000 per 100 ikat,” kata Agus.
Ia berharap permasalahan rendahnya harga di tingkat petani tersebut dapat segera di atasi. Oleh karena itu Agus menilai sinergi antara pemerintah dengan petani melalui koperasi harus menjadi opsi utama.
“Sampai saat ini kerja sama antara Bulog atau BUMN pangan dengan koperasi-koperasi milik petani untuk penyaluran pangan ke lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat belum maksimal. Padahal cara ini kami pandang efektif untuk mengatasi masalah rendahnya serapan hasil pertanian oleh konsumen dan harga di tingkat petani,” kata dia.
Sementara itu untuk kebijakan jangka panjang, Agus menyebutkan harus didorong dengan kebijakan pangan yang komprehensif dan menjamin kesejahteraan petani.
Menurut dia, kehadiran Badan Pangan Nasional merupakan hal positif dan harus diapresiasi. Apalagi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, terdapat 9 komoditas pangan yang menjadi pengawasan Badan Pangan Nasional yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Selain itu, ia juga menyebutkan masalah penting yang harus segera diatasi adalah buruknya koordinasi dan keterbukaan informasi antar kementerian/lembaga, khususnya mengenai data ketersediaan pangan.
“Ini penting mengingat koordinasi antar kementerian/Lembaga perihal pangan belum berjalan baik. Dalam menetapkan kebijakan impor pangan misalnya, ini tidak boleh lagi serampangan dan menggunakan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai petani lagi-lagi menjadi korban akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat,” kata dia.
sumber : KOMPAS.com