DENPASAR, infomitratani.com– I Komang Sukarsana (36) dulu bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun, kesempatan itu tak kunjung datang.
Setelah lulus kuliah, ia mengaku di bawah tekanan karena label sarjana pengangguran yang melekat di masyarakat desa.
Menurutnya, kesuksesan di dunia kampus dan beberapa organisasi kepemudaan sewaktu kuliah tidak berbanding lurus dengan kenyataan.
“Susah mencari kerja apalagi anak sebagai anak petani yang memiliki tingkat pergaulan terbatas,” katanya saat dihubungi, Senin (15/3/2021).
Lulus kuliah dari Universitas Pendidikan Ganesha di Singaraja pada 2007, Sukarsana memutuskan menjadi tenaga honorer di sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di Kintamani.
Sukarsana mengabdi sebagai tenaga honorer tanpa adanya harapan menjadi PNS. Ia bertahan dengan pendapatan rendah.
Setelah lima tahun mengabdi, ia memutuskan meninggalkan desa dan mengadu nasib ke Ubud, Kabupaten Gianyar.
Sukarsana mulai belajar dan mencari peluang bisnis, mulai dari menawarkan sayuran hingga membuka warung makan bernama Mujair Kintamani (MK).
Mendengar pembicaraan turis asing
Saat membuka warung makan, nasib Sukarsana mulai berubah. Di warung itu, ia mendengar seorang turis asing sedang mencari kopi Kintamani.
Ia memberanikan diri menyapa dan berbincang tentang kopi. Turis asing itu lalu mengajak Sukarsana menjadi pengontrol kualitas kopi Kintamani yang dijual ke Australia.
Pekerjaannya sehari-hari mengajarkan bagaimana membuat bibit, budidaya kopi, mengolah kopi sesuai standar ekspor, dan mendampingi petani menjalankan program yang dikembangkan perusahaan.
Ternyata, kopi dari petani yang didampinginya mendapat penghargaan terbaik ketiga dalam kontes kopi spesialti Indonesia di Hotel Stones, Kuta, Bali.
Lahir dan besar di Kintamani membuatnya tahu seluk beluk kopi dari kampung halamannya itu. Sukarsana lalu bertekad membuat kopi dari daerahnya bisa bermanfaat bagi petani.
Menurutnya, kopi Kintamani Bali mampu bersaing di kancah internasional. Namun, faktanya kopi jenis ini masih banyak diperjualbelikan dengan sistem ijon.
Sistem itu membuat keuntungan dari penjualan kopi hanya bisa dinikmati tengkulak dan pengusaha pendatang, bukan warga lokal Kintamani.
“Para petani kopi tetap mengeluh dengan harga jual kopi yang rendah dan selalu ditekan oleh pembeli,” kata dia.
sumber : KOMPAS.com