TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta—Isu lingkungan dalam budidaya padi kini mencuat seiring makin rendahnya unsur hara dalam tanah. Guna menjawab isu tersebut, Kementerian Pertanian memprogramkan budidaya padi bebas residu.
Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan, M. Ismail Wahab mengatakan, isu lingkungan pertanian kini mencuat makin banyaknya introduksi pupuk dan pestisida anorganik yang petani gunakan. Apalagi dari penelitian IRRI, emisi gas rumah kaca (GRK( dari lahan pertanian mencapai 12 persen. Belum lagi kerusakan dan degradasi lahan dengan menurunnya kandungan C-Organik.
“Program padi bebas residu ini berbeda dengan model budidaya konvensional yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia secara massif,” katanya saat FGD Meningkatkan Produksi Pangan Ramah Lingkungan yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani di Jakarta, Rabu (14/4)
Menurutnya, padi bebas residu ini mengubah model tata kelola lahan dengan lebih mengandalkan aplikasi pupuk organik/hayati dalam pengolahan lahan , serta biopestisida untuk pengendalian OPT secara aman dan tanpa residu. Pupuk anorganik tetap digunakan, namun dalam ambang batas. “Tujuan akhir adalah meningkatkan nilai tambah hasil produksi petani, karena biaya produksi lebih efisien serta hasil panen organik dengan harga pasar lebih tinggi,” kata Ismail.
Dalam program padi ramah lingkungan itu, pada Tahun Anggaran 2021 ini Kementerian Pertanian memprogramkan pengembangan padi khusus dengan alokasi 10.000 Hektar (ha) untuk penanaman padi organik, padi lokal, merah dan hitam mengacu pada indikasi geografis. Program itu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas padi khusus untuk mendukung ekspor.
Tipe lahan yang menjadi sasaran pengembangan padi khusus ini yakni, lahan irigasi, lahan kering atau sawah tadah hujan, baik lahan eksisting (PIP) maupun lahan bukaan baru (PATB). Sedangkan target lokasi berada di Riau, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, DI Yogyakarta, Jatim, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Sulteng, Sulsel, Bali, NTT, Maluku, Maluku Utara dan Gorontalo.
Selain itu dilakukan juga budidaya padi padat gizi dengan alokasi lahan seluas 46.000 ha. Program padi padat gizi ini menggunakan varietas padi kaya Nutri Zinc hasil biofortifikasi guna mengatasi masalah stunting/anak tumbuh kerdil. “Angka stunting di Indonesia saat ini mencapai 30 persen, masih lebih tinggi dari toleransi WHO sebesar 20 persen dari jumlah balita,” katanya.
Karena itu pemerintah beruopaya melakukan penyediaan beras kaya gizi (nutri zinc) guna mengatasi stunting/anak tumbuh kerdil. Caranya dengan penggunaan varietas padi kaya Nutri Zinc hasil biofortifikasi. Lokasinya berada di wilayah dengan prevalensi stunting tinggi mengacu pada 100 Kab/Kota prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting).
Provinsi pelaksana yakni, Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultra, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Pabar, Banten dan Gorontalo.
Dalam program pangan ramah lingkungan, Kementerian Pertanian memberikan bantuan pemerintah berupa sarana produksi diutamakan pada produk-produk yang ramah lingkungan. Diantaranya, benih padi berdaya hasil tinggi dan rendah emisi seperti varietas Ciherang, Memberamo, Inpari, Situ Bagendit dan Hibrida.
Berikutnya adalah Pupuk hayati untuk padi rawa, OPIP, padi produktivitas rendah, jagung untuk wilayah khusus, penguatan Food Estate, penggunaan pupuk organic cair maupun padat (OPP) serta penambahan dekomposer. Terakhir, bio-pestisida untuk pengendalian OPT khusus padi provitas rendah.
Khusus untuk pengelolaan hama terpadu (PHT) guna menekan penggunaan pestisida kimia dibuat pos pelayanan agens hayati sebagai wadah menyiapkan, memperbanyak, menerapkan, mengembangkan dan menyebarluaskan sarana produksi ramah lingkungan sesuai prinsip PHT berbentuk agens hayati, pestisida, PGPR dan MOL.
Selain itu ungkap Ismail, memperbanyak agen pengendalian hayati/refugia sebagai sumber pakan alternatif bagi musuh alami, sehingga kehadirannya akan sangat membantu dalam pelestarian musuh alami di lahan pertanian. “Pembuatan rumah burung hantu (Rubuha) menjadi kegiatan alami untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman memanfaatkan predator,” tuturnya.
—
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/